Angan Cinta Sang Kekasih

Susi tidur-tiduran di kasur, memainkan blackberry Jeri, sang suami.

"Jeri mulai sembunyi-sembunyi. Blackberrynya dipasang password, yang aku tak tahu apa dan tak diberitahu apa. Semua hal yang pernah menjadi passwordnya sudah ku coba. Tak ada satupun yang berhasil. Untungnya dia tak tahu aku mencobanya. Tiap pagi kucoba sekali waktu dia mandi. Tiap malam kucoba lagi sekali. Belum pernah berhasil! Kira-kira sudah seminggu inilah. Jeri juga punya akun twitter. Tapi karena akunnya dikunci, aku harus diijinkan olehnya untuk memfollownya. Sudah kukatakan padanya untuk meng-approve permintaanku. Tapi sampai kini sudah 3 harian ini deh, masih belum juga. Aku tahu sih dia sibuk, tapi masa iya tak sempat. Bagaimana tak curiga. Huh." gerutunya.

Jeri memasuki kamar mereka. Mengambil blackberry, mengecek sebentar. Tersenyum kecil, senyum yang tertangkap mata sang kekasih. Susi beranjak pergi ke kamar mandi. 

"Baju warna ungu tuaku sudah disetrika?" tanya Jeri.
"Lihat saja di gantungan lemari sebelah kiri," jawab Susi ketus. 

Menyambar handuk, Susi pergi mandi. Dia tak lagi memanggilku dengan panggilan spesialnya, kekasihku, akhir-akhir ini. desahnya pelan tak terdengar. 

Susi mulai menampakkan gerak-gerik aneh. Mukanya seringkali masam. Ditanya juga tak menjawab dengan enak.

Hmmm. Ada apa ya? Jeri mulai bertanya dalam hati. Ah mungkin lagi 'harinya'. Sebagai laki-laki kita harus mengerti. Istri tak selalu harus manis, dan kita yang harus mengerti. Tak harus mempermasalahkannya, begitu menurut Jeri.

Ajakan sarapan yang sudah diiyakan tidak jadi karena Jeri menerima bbm dari kantor katanya. Entah siapa, tak jelas. Jeri tidak menjelaskan hal penting apa yang harus dilakukannya. Tak seperti biasanya.

Tak enak badan, tak sampai dua jam di kantor Susi memutuskan untuk ijin pulang. Susi membanting pintu rumahnya untuk meluapkan kemarahannya.

"Sungguh kesaaaaaaal. Sarapan mendadak tidak jadi, tanpa alasan jelas. Oke. Baiklah." omel Susi. 

Dikeluarkannya laptopnya. Langsung dikliknya browser. Susi memutuskan untuk mengecek BukuMuka Jeri. Sesaat sebelumnya, di News Feed seorang teman wanita kami, berteman dengan Jeri, tapi entah kenapa di temlen BukuMuka Jeri tak ada. Pasti dihapuskan? Kenapa mesti dihapus? Takut ketahuan, pasti memang ada apa-apa. Begitu pikirannya makin kusut. Aaah.

Kembali jari Susi menari di tuts keyboard. Permintaan untuk memfollow di twitter saja masih belum di approve. Dibantingnya hpnya. Susi jatuh tertidur. 

Hp Susi berbunyi.
"Halo, iya saya sendiri, ....... apa?" HP jatuh dari genggamannya yang melemah.

"Aku memang kesal pada Jeri, tapi bukan berarti aku bisa hidup tanpanya. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa kau harus pergi meninggalkankuu," isak Susi lemah.

Terdengar suara pintu dibuka dengan tergesa.

Jeri memeluknya Susi erat-erat. Napasnya terengah-engah.

"Kamu menangis?"

Susi menyusut airmatanya. "Sepertinya, tapi kenapa ya?". "Kau sendiri, kenapa kau terengah-engah begitu? seperti dikejar setan. Lagi pula jam berapa ini? Kenapa kau sudah pulang?"

Jeri memeluk Susi lebih erat lagi. Hening sejenak
"Siang tadi sehabis dhuhur, rupanya aku tertidur di masjid. Aku bermimpi, mimpi yang terburuk dalam hidupku."

Pelukan Jeri makin erat. Susi merasa sesak napas. Tapi dia tak mau memrotesnya. Susi merasa sangat bahagia.

"Aku bermimpi, kau meninggalkanku. Kau pergi ke pulau terpencil bersama seorang pria kaya yang tampan. Dia memperlakukanmu dengan baik." lanjut Jeri sedikit tercekat.
"Aku tak terima, aku marah. Tapi kau tak menghiraukanku. Kau pergi begitu saja seolah tak mendengar panggilanku. Kalian malah berpelukan mesra. Tapi pria itu mengatakan sesuatu sebelum dia pergi. Dia bilang, kalau saja aku memperlakukanmu dengan lebih baik, kau tak akan berpaling padanya."

Susi masih diam mendengarkan.

"Maafkan aku bila aku tak memperlakukanmu dengan baik. Aku bahkan berpikir untuk menduakanmu. Iya, menduakanmu. Dengan seorang perempuan lain. Kau berhak marah. Aku akan menerimanya. Tapi sungguh, aku tak akan mengijinkanmu meninggalkanku. Bahkan dalam mimpiku. Maafkan aku" Kata Jeri lagi, dengan penuh penyesalan.

Susi merasakan penyesalannya, merasakan ketulusannya. Tapi Susi masih belum ingin bicara. Susi hanya ingin menikmati sesaknya pelukan suaminya.

"Kau marah?" tanya Jeri hati-hati.

Suasana hening kembali. Jeri menunggu cemas. Jeri berharap kekasihnya marah besar. Namun, tidak meninggalkannya.

"Aku jadi ingat kenapa aku menangis. Aku pun bermimpi tentangmu. Aku bermimpi kau meninggal dalam kecelakaan mobil. Aku pun tak bisa kehilanganmu."

"Aku tahu, kau sedang menyembunyikan sesuatu. Aku wanita, aku bisa merasakannya. Tapi mimpi itu menyadarkanku, aku tak bisa kau tinggalkan. Kurasa, aku akan memperjuangkanmu sampai kau benar berani mengatakan padaku bahwa kau tak mau lagi bersamaku. Tapi tentu saja aku tak mau itu terjadi." sambung Susi lembut.

"Tidak kekasihku, maafkan aku. Aku berjanji, tak akan kubiarkan pikiran bodoh itu terjadi lagi, bahkan takkan kubiarkan dia membersit sekali lagi."

"Ssst.. sudahlah," Susi meletakkan telunjuknya di bibir suaminya. "Tak perlu berjanji begitu. Aku hanya meminta tak ada lagi rahasia di antara kita. Kalau pikiran itu terbersit, katakanlah padaku. Berikan aku kesempatan untuk selalu merebutmu kembali."

Jeri memandang mata istri yang sudah dinikahinya selama lima tahun terakhir. Dicium lembut keningnya. Tak perlu dikatakannya betapa beruntungnya memiliki Susi sebagai istrinya, kekasihnya, yang teramat dicintainya.

"Iya tentu saja, terimakasih telah memaafkanku, kekasihku." Mempererat kembali pelukannya.

"Terimakasih telah memberiku kesempatan untuk kembali mendapatkanmu." Susi memejamkan mata, berharap mimpinya kali ini indah. Dan tetap bersama sang suami. Berbahagia. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Journey (1)

Cerita Semesta

me guapo