Takdir & Ikhlas

Takdir adalah ketetapan Alloh yang telah ditentukan bahkan sebelum kita ada di dunia ini. Jauuuuh dari sebelum terciptanya dunia galaksi ini.

Ikhlas adalah sikap menerima dengan legawa tanpa gundah dan desah apapun yang terjadi, senang gembira dan bahagia *elhoh kok bagus smua, maupun duka nestapa dan siksa.

Seorang teman pernah mengatakan pada saya, Kita ini hanya wayang, yang menjalankan semua yang telah dipastikan dalam Lauh Mahfudz. Namun yang mengusik hati saya adalah dia jadi tidak berjuang. Pasif. Padahal bukankah kita tidak pernah tahu takdir kita? bukankah takdir adalah menjadi "takdir" ketika telah terjadi? kenapa tidak kita berusaha maksimal, sehingga setidaknya dengan usaha maksimal, apabila tidak berhasil kita bisa mengatakan bahwa itu takdir. Tidak adil saat kita mengatakan itu takdir padahal kita tidak pernah berusaha.

Tapi kemudian saya menyadari sesuatu. Bahwa saya yang merasa berusaha sebenarnya saya kurang usaha. Sedangkan dia yang pasif malah berjuang mati-matian. Dia berjuang mati-matian mengerjakan tugas akhirnya. Dia berjuang mati-matian untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Dia berjuang mati-matian untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Namun di akhir hari dia menerima segala sesuatu yang terjadi padanya dengan tenang, yang dia sebut sebagai takdir. Sedangkan saya, saya yang memang tak pernah bersusah payah mendapatkan nilai bagus, menjadi malas, lupa berusaha, lupa berjuang mati-matian. Nilai yang saya dapatkan tidak buruk, baik malah. Tapi itu tidak memuaskan saya, karena saya lupa berjuang, atau saya tidak berjuang mati-matian. Saya tertampar. Saya malu. Sayalah yang tidak memperjuangkan takdir saya.

Seorang teman pula yang mengingatkan saya tentang keikhlasan. Pagi itu kami saat menuju kampus memberikan seorang pengemis uang. Dia nampak kumuh dan dekil. Sore harinya kami pulang dengan melalui rute yang sama namun agak lebih sepi dibanding tadi pagi, dan tak disangka kami melihat ibu pengemis yang tadi pagi kami beri uang, sedang berganti baju dengan mengganti dengan baju yang lebih baik. Dari situ kami menarik kesimpulan bahwa ibu itu berprofesi sebagai pengemis. Kecewa, itu kata yang terlintas di hati saya. Tercetus tidak akan saya memberikan uang pada orang itu lagi. Teman saya pun bercerita, dia juga pernah memikirkan hal yang sama. Kemudian diingatkan oleh kakaknya, bahwa kita tak boleh menjadi skeptis dengan kejadian seperti itu. Anggap saja hal itu sebagai latihan untuk menjadi lebih ikhlas. Mungkin itu memang rejekinya. Rejeki manusia yang telah diatur oleh Alloh. Tak boleh kita merasa itu adalah rejeki dari kita. Mungkin melalui kita, tapi bukan dari kita.

Termenung saya kemudian. Sedikit mengusik saya, namun karena saya masih kesal dengan ibu tadi, saya bersikukuh tidak akan memberi ibu tadi receh lagi. Bulan berganti tahun, saya mengikuti pengajian Aa Gym, yang pada saat itu membahas keikhlasan. Bahwasanya keikhlasan didapatkan dari latihan yang terus menerus, dan meyakini bahwa harta yang kita sedekahkan pun sesungguhnya bukan milik kita. Kesempatan kita bersedekah hanya karena diberikan kesempatan bersedekah oleh Alloh, alhamdulillaah. Harta pun adalah harta orang lain yang memang dititipkan kepada kita. Seperti tertampar. Namun hati saya malu, dan segala sesuatu yang malu itu ujungnya dosa bukan?.

Kini saya sedang belajar. Belajar menutup mulut begitu akan membicarakan hal baik yang saya lakukan pada masa lampau. Belajar menutup mulut ketika akan menuntut balasan atas kebaikan saya. Belajar menutup mulut ketika hendak mengungkit budi orang lain. Belajar IKHLAS.

~repost dari akun fb~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Journey (1)

Cerita Semesta

me guapo