AU REVOIR

Hari ini tepat 8 bulan sepuluh hari sejak aku membeli blackberry merah yang modelnya selalu ku suka. Namun tepat hari ini pula aku harus berpisah dengannya. Berpisah dengan semua kesibukan yang terikat dengan komunitas yang terbentuk darinya. Satu nama yang terlintas. Yap, hanya melintas. Banyak teman yang menganjurkan untuk membeli saja yang baru toh banyak yang harganya murah. Namun entah mengapa, meskipun ada bayangan seseorang itu melintas, aku tetap kukuh tak akan berganti tipe. Aku merasa itu pertanda dari Yang Di Atas untuk berhenti menyia waktu. Menyiakan waktu berkirim pesan, menyiakan waktu berusaha mendekat, menyiakan waktu untuk berharap. Kini aku siap, dan sangat bersemangat untuk berjalan membeli handphone baru. Handphone yang mungkin akan menjauhkan aku darinya. Menjauhkan aku dari menunggu sapanya.

Dari segala kenangan yang seharusnya sudah bisa aku jauhkan. Bisa saja orang bilang, aku terlalu berlebihan, dengan segala yang aku rasakan. Ah, kalian tidak tahu saja.
Sekarang, aku akan melangkah pada sebuah dunia yang baru, yang akan memberikan aku kejutan-kejutan yang lebih menyenangkan. Semoga.
"Nas, besok jadi gak beli hanphone-nya?" Kirana mengagetkan aku. Benar-benar membuyarkan lamunanku. "Ah, iya, jadi deh jadi..." jawabku cepat. Kiranan mengernyitkan dahinya. "Hah? Kenapa pake 'deh'? Niat nggak sih kamu?". Pantaslah kalau Kirana kesal. Ini sudah kelima kalinya aku maju mundur untuk beli handphone baru.

Bukannya apa-apa sih, kadang mereka jadi kesulitan mencariku. Aku, yang bisa sewaktu-waktu menghilang. Hanya untuk menenangkan pikiran yang kadang berujung pada perasaan tak enak.
Bismillaah, ku bulatkan tekadku, "Iya, jadi ga pake deh", ujarku yang kemudian membentuk seulas senyum di bibir Kirana. Sebenarnya aku sudah memutuskan handphone yang akan aku beli. Namun hanya alasan 'belum menemukan tipe hp yang akan ku beli'-lah yang paling tepat. Ku yakinkan diriku sekali lagi. Aku tidak melakukan hal ini untuk menghindarinya. Aku hanya ingin merengkuh kembali dunia nyataku. Kembali menikmati hangatnya berjabat.

Kembali menikmati indahnya bercakap. Ngalor ngidul tanpa arah. Dari satu topik ke topik yang tak bersinggungan sama sekali.

Dan ternyata aku memang merindukan untaian kata yang terucap. Aku sudah muak membaca kata, menafsirkan icon yang terpajang sebagai ganti raut wajah. Raut wajah yang bahkan aku sudah lupa. Aku lupa bagaimana lawan bicaraku tertawa, menangis dan cemberut ketika aku menggodanya.
Aku adalah orang yang suka sekali membaca gerak wajah. Menikmat setiap senyum dingin, pandangan sinis, dan tawa terbahak yang tak perlu ku kira-kira.
Aku siap. "Besok kita berangkat jam berapa?" tanyaku tegas. Kirana tersenyum. Indah.
"Oke deh Inas cantik, besok kita berangkat jam sembilan pagi ya... biar kamu puasss muter-muternya. Dan dapet handphone yang kamu mau," lanjut Kirana seraya mengerlingkan matanya.

Oke, hari ini, aku akan menemukan sesuatu yang baru, yang membawaku pada kenikmatan selanjutnya.
Aku berputar-putar dari satu toko ke toko yang lain. Ternyata tak semua toko menjual tipe hp yang aku maksud. Mungkin karena bukan tipe terbaru, dan bukan hp gaul yah. Ah, tapi aku tak akan menyerah. Ini sudah menjadi keputusanku.
"Nas, kamu gak salah dengan tipe hp yang kamu cari?" tanya Kirana kemudian. Aku menggeleng. "Kita sudah menghampiri belasan toko, euy, dan tak satupun menyediakan tipe yang kamu mau," sambung Kirana yang mulai tampak lelah. "Ah, Ki, tolonglah, ini mumpung aku mau loh buru-buru ganti hp," rajukku. Kirana hanya mampu mengangguk lemah. Kita, lanjut berburu.


Lelah tak hanya mendera Kirana. Kakipun sudah mulai capek. Kami pun duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di pinggir koridor pertokoan. Kirana nampak lelah dan menyeka keringat. Sedangkan aku, mataku tetap saja jelalatan untuk mencari tipe hp yang kuinginkan. Hingga empat kali jelalatan, akhirnya mataku tertarik pada satu toko. Bukan karena telah kutemukan hp yang ku cari, tetapi kulihat seorang lelaki, berumur 25 tahunan tampak melamun, bersedih. Entah kenapa kakiku tiba-tiba bergerak ke arahnya. Tiba-tiba aku telah duduk di depannya, dan terukir senyum manisnya. "Mau beli hp mbak? cari yang tipe apa?" ujarnya ramah.

Aku lalu menyebutkan tipe yang ku mau, tanpa berharap banyak sebenarnya. Namun mengejutkan, lelaki yang itu berdiri, mengambil kotak di balik etalase tak mencolok. Masih bersegel. "Ini ada mbak, sebenarnya dibeli sama orang siy" terdiam, lelaki itu membiarkan kalimat itu tergantung di udara.
"Wah kalau sudah di tag sama orang, saya ga berani ambil dong mas," kata saya memutus kehengingan.
"Oh bukan, kisahnya panjang mbak." katanya sendu.
"Jadi boleh hp ini saya beli? berapa harganya?"
Setelah sejenak kami saling bernegoisasi harga. Tak lama, karena aku juga sangat mengingingkannya, tercapailah kesepakatan harga untuk hp tersebut.

Kirana menepuk punggungku. "Kukira kau kemana, sudah ketemu?"
Kirana pun duduk disebelahku. "Wah mas, hebat euy, masih ada hpnya? saya kira sudah ga ada lho. Saya sudah putus asa mengantarkan teman saya ini berkeliling mencari hp ini. Alhamdulillaah sih ketemu, tapi kok bisa masih ada mas, udah gitu masih rapi kardusnya? bukan second ya?"

"Ya, udah jodohnya kali Mbak. Ini saya jual juga belom lama sih, takutnya gak ada yang beli. Tapi ya udah takdirnya kali ya Mbak, hhehehe..." eeh, mas-mas yang jualan malah becandaan.
"Iya nih Mas, mana lagi temen saya ini susahnya minta ampun mo ganti hp aja. mikirnya berbulan-bulan. Kalah orang milih jodoh mah... Eee sekalinya milih... susah aja... untung-untungan bisa dapet yang dia mau.." timpal Kirana, dan semena-mena membuat Inas melongo.
"Ih...kamu apa sih Ki...." protesku sambil mencubit lengan Kirana. Aku cuma bisa cengar-cengir. Sekarang, yang aku rasakan adalah senang, puas, dan mantap. Yaiyalah, hp baru sudah di tangan, dan... sesuai keinginan.
Tak berapa lama setelah ku pasang nomor ku. aku pun berpamitan. "Hpnya mau langsung dipake mbak?" "Iya mas, begini saja, terimakasih".

Sesampainya di rumah, ternyata banyak sms yang masuk. Tak tertera nama pengirimnya, karena banyak nomor yang tersimpan di memori hp. Dan terdapat satu nomor tak dikenal di daftar panggilan tak terjawab. Terlintas kembali dirinya. Tapi hanya melintas saja. Tak terkenangkan obrolan yang dulu hingga pagi kami ketikan. Aku tersenyum, mungkin aku sudah tak terikat lagi dengannya. Si Merah, begitu aku memanggil hp lamaku, tergeletak di pojok laci riasku. Kuusap untuk terakhir kalinya. aku berpamitan. Teringat kata Kirana, "Kita tak pernah memiliki apapun, tak selayaknya sedih karena kehilangan" Ungkapan olehnya dan untuknya sendiri ketika kekasihnya meninggalkan dunia ini.  

Iya inilah perpisahanku. Akhirnya akulah yang mengakhirinya. Bukan, bukan mauku. Tapi aku butuh perpisahan ini. Aku harus berpisah sekarang. Berpisah tanpa rasa kehilangan. Kuucapkan selamat berpisah padanya, dalam hati. Dan ku tutup laci riasku. Pada saat itu kuputuskan, aku akan kembali merengkuh nyataku. Dan tak lagi bersandar pada harap. Semuanya aku terima, dengan ikhlas. Terima kasih masa lalu. Selamat datang, masa depanku. Tuhan yang akan memelukku dengan segala kejutan untukku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Journey (1)

Cerita Semesta

me guapo